MATERI BAB IV : KETELADANAN SAHABAT UTSMAN BIN AFFFAN DAN ALI BIN
ABI THALIB
1.
Sifat-sifat sahabat Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
a.
Sifat
Itsar (Mendahulukan Orang Lain) dan Kedermawanan Utsman bin Affan
Usman adalah
salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad saw. Ia tumbuh menjadi pribadi yang lembut
kepada sesama mukmin. Hatinya sering tersentuh menyaksikan keadaan mereka. Ia
selalu berusaha membantu kesulitan rakyat dan menghilangkan kesedihan mereka,
rajin menyambung silaturrahim, memuliakan tamu, memberi pekerjaan kepada orang
fakir, membantu yang lemah dan berusaha menghindarkan kesulitan mereka. Ia
dikenal penyabar, ramah, dan murah hati, selalu memaafkan kesalahan orang lain.
Teladan seluruh tingkah lakunya adalah Rasulullah saw. Ia mencontoh perkataan,
perbuatan dan perilaku Nabi saw.
Ada banyak
peristiwa yang menunjukkan kesabaran dan ketabahan jiwanya. Dalam setiap kesempatan,
ia selalu mendahulukan sikap santun dan maaf, murah hati dan tidak bergantung
pada dunia. Alih-alih diperbudak dunia, ia menjadikan dunia sebagai sarana
untuk mengamalkan akhlak mulia, terutama sikap mengutamakan orang lain di atas
kepentingan sendiri. Ia tidak dikuasai dunia
sehingga ia tidak menjadi orang yang egois yang mengutamakan
kepentingan pribadi dan mengorbankan kepentingan orang lain.
Tentu saja ia
berhak mendapatkan balasan yang mulia itu karena ia terbiasa membebaskan
seorang budak setiap Jumat. Suatu hari Thalhah menyusul Usman sekeluarnya dari
masjid. Thalhah berkata, “Aku sudah punya lima puluh ribu dirham yang kupinjam
darimu. Aku akan mengutus seseorang untuk menyerahkannya kepadamu.” Usman
menjawab, “Biarlah semua itu kuberikan kepadamu, karena kebaikan akhlakmu.”
Juga dikisahkan
bahwa sebelum Nabi datang ke Madinah, di sana ada sumur yang disebut sumur Rawmah.
Air sumur itu sangat segar. Setiap orang yang ingin minum dari sumur itu harus membelinya.
Sumur itu milik seorang Yahudi. Ketika umat Islam semakin berat dihimpit
kesulitan, Rasulullah menyerukan tawaran, “Barang siapa membeli sumur
Rawmah, baginya surga.”
Mendengar
pernyataan itu, Usman bergegas ingin mendapatkan surga. Ia memberanikan diri membeli
sumur itu seharga 35.000 dirham. Ia menggratiskan siapa saja untuk memanfaatkan
air sumur itu, baik yang kaya, miskin, atau pun para musafir. Ini terjadi ada
masa pemerintahan Al- Faruq, di mana kaum muslim dilanda paceklik. Karena beratnya
kehidupan yang harus dihadapi, tahun itu disebut tahun kelabu. Ketika nestapa
semakin memuncak, orang-orang menghadap Umar ra. dan berkata, “Wahai Khalifah,
langit tak menurunkan hujan dan enggan menumbuhkan tanaman. Kita hampir binasa.
apa yang harus kita lakukan?” Umar memandangi mereka dengan wajah pilu. Ia
berkata, “Sabar dan bertahanlah. Aku berharap Allah swt memberikan jalan keluar
dari keadaan ini sebelum malam tiba.”
Sore harinya
terdengar kabar bahwa kafilah dagang Usman bin Affan telah kembali dari Syria
dan akan tiba di Madinah esok pagi. Usai shalat Subuh, orang-orang menyambut
kafilah itu. Seribu unta membawa gandum, minyak samin, dan kismis. Seluruh
rombongan kafilah dan kendaraannya berkumpul di depan rumah Usman bin Affan ra.
Ketika para buruh sibuk menurunkan barang dagangan, para pedagang bergegas
menemui Usman. Mereka berkata, “Kami akan membeli semua yang engkau bawa, wahai
Abu Amr.” Usman menjawab, “Dengan senang hati dan aku merasa terhormat. Tetapi,
berapa kalian akan memberiku keuntungan?” Mereka berkata, “Untuk satu dirham
yang engkau beli, kami memberimu dua dirham.” “Aku bisa mendapat lebih dari
itu”, jawab Usman. Lalu mereka kembali menaikkan harga. Usman berkata, “Aku
masih bisa mendapat lebih dari yang kalian tawarkan.” Mereka menaikkan harga
lagi. Usman berkata, “Aku masih bisa mendapatkan lebih dari itu.” Mereka
berkata, “Wahai Abu Amr, siapakah yang berani memberimu keuntungan lebih dari
tawaran kami?” Usman menjawab: “Allah swt. memberiku keuntungan sepuluh kali
lipat dari setiap dirham yang kubelanjakan. Adakah diantara kalian yang berani memberiku
keuntungan lebih dari itu?” “Tidak, wahai Abu Amr.”
“Aku bersaksi kepada Allah swt,
semua yang dibawa kafilah ini kusedekahkan kepada fakir miskin di kalangan umat
Islam. Aku tidak mengharapkan bayaran sepeser pun. Kulakukan semua itu semata-mata
mengharapkan pahala dan keridhoan Allah swt”. Inilah karakter Usman bin Affan yang
termaktub dalam firman Allah swt:
وَيُؤْثِرُونَ
عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Dan mereka mendahulukan kepentingan orang lain
(rakyat) di atas kepentingan mereka sendiri. Dan barang siapa yang terjaga dari
kekikiran dirinya, maka dialah orang-orang yang beruntung”. (Q.S Al-Hasyr:
9)
b.
Kecerdasan
Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a
Beliau adalah
salah satu –selain Abu Bakar, Umar, dan Usman, di antara 10 sahabat yang
dijamin masuk surga sebagaimana sabda Rasulullah Saw. Beliau adalah lulusan
terbaik dari madrasah nubuwwah, yang dididik semenjak kecil oleh Rasulullah
saw. Di antara keistimewaan beliau adalah Allah swt menganugerahkan kecerdasan
di atas rata-rata. Sampai-sampai Rasulullah bersabda “Aku adalah kotanya
ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya”.
Di antara
kisahnya adalah perselisihan beberapa sahabat tentang ilmu berhitung. Dua orang
sehabat melakukan perjalanan bersama. Di suatu tempat, mereka berhenti untuk
makan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang
pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong
roti. Ketika keduanya telah siap untuk makan,
tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang dan duduk bersama
mereka.
“Mari, silakan,
kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,” kata salah seorang dari dua orang tadi.
“Aduh...saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu. Maka mulailah mereka
bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi meletakkan
uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut seraya berkata: “Biarkan uang
ini sebagai pengganti roti yang aku makan tadi.” Belum lagi mendapat jawaban
dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri untuk melanjutkan
perjalanannya lebih dahulu.
Sepeninggal si
musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan. “Baiklah,
uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti. “Aku setuju” jawab
sahabatnya. “Karena aku membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham,
sedang bagianmu adalah tiga dirham. “Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak
meninggalkan pesan apa-apa, maka kita bagi sama, masing-masing empat dirham.”
“Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka aku mendapat bagian lebih
banyak”.
Alhasil, kedua
orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang pembagian
tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Untuk
meminta pendapat. Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang masalah yang
mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah orang itu
selesai berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang mempunyai tiga
roti: “Terima sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham itu!” “Tidak! Aku
tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya,”
Jawab orang itu. “Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu
hanya satu dirham!” kata Imam Ali lagi. “Hah...? Bagaimana engkau ini, kiranya.
Sahabatku ini akan memberikan tiga dirham dan aku menolaknya. Tetapi kini
engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu dirham?” “Bukankah engkau menginginkan penyelesaian
yang adil dan benar? Kalau begitu, bagianmu adalah satu dirham!”. “Bagaimana
bisa begitu?” Orang itu bertanya.
Imam Ali
menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata: ”Mari kita lihat. Engkau
membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong roti.” “Benar”,
jawab keduanya. “Kalian makan roti bertiga, dengan si musafir.” Benar”. “Adakah
kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”. “Tidak.”. “Kalau begitu, kita
anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang sama banyak”. “Setuju”, jawab
keduanya serempak. “Roti kalian yang delapan potong itu, masing- masingnya kita
bagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, kita mempunyai dua puluh empat potong
roti, bukan?” tanya Imam Ali. “Benar,” jawab keduanya. “Masing-masing dari
kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak
delapan potong, karena kalian bertiga.” “Benar.” “Nah... orang yang membawa
lima roti, telah dipotong menjadi tiga
bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga
roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian,
bukankah begitu?” “Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak. “Si
empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia
mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang
si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang
satu potong dimakan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun tepat
makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?”
Kedua orang
yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam
Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata: “Benar, kami mengerti.” “Nah,
uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham
untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya,
dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu
potong roti dari milik orang itu”. “Alhamdulillah...Allahu Akbar,” kedua orang
itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan
masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.
“Demi Allah swt, kini aku puas dan
rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata
orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti. Kedua orang
yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka
berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang
sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib ra.